Dra. Sri Suprapti

Gutu Bahasa Jawa

Suka membaca dan menulis

Kunjungi Profil

MAKNA PARIBASAN “CIRI WANCI LELAI GINAWA MATI”

Artikel

MAKNA PARIBASAN “CIRI WANCI LELAI GINAWA MATI” 

Oleh : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 8 Surakarta

            Paribasan merupakan tradisi lisan yang berarti sudah ada sebelum masyarakat Jawa mengenal tulisan. Paribasan ini termasuk dalam Aporisma yang diartikan dengan kata-kata bijak Orang Jawa yang padat akan makna dan nilai luhur. Dalam sebuah buku yang berjudul “Peribahasa Jawa sebagai Cermin Watak, Sifat, dan Perilaku Manusia Jawa” yang disusun oleh Prihatmi dkk. dijelaskan  bahwa Peribahasa adalah perumpamaan, ungkapan atau semacam pepatah, tetapi tidak menggunakan arti sesungguhnya ( S. Prawiroatmojo, 1980:51-52 ).

 Pengertian paribasan menurut Wikipedia, Paribasan (Carakan: ꦥꦫꦶꦧꦱꦤ꧀) adalah suatu ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kiasan, bersifat tetap, namun tidak terdapat ungkapan pengandaian.  Di dalam bahasa Jawa, secara umum terdapat tiga macam peribahasa, di antaranya adalah paribasan, bebasan, dan saloka. Ketiganya memiliki ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. 

Pengertian paribasan menurut Wikipedia L Paribasan adalah suatu ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kiasan, bersifat tetap, namun tidak terdapat ungkapan pengandaian. Fungsi atau manfaat paribasan ini adalah untuk menasihati, menegur, dan menyindir. Paribasan berisi nilai-nilai kehidupan yang bijak untuk menasihati seseorang, sehingga orang yang mengikuti nasihat tersebut akan mendapatkan dampak positif.

Paribasan bahasa Jawa juga digunakan untuk mengingatkan orang-orang agar tidak melakukan sesuatu yang buruk seperti gambaran yang ada dalam peribahasa tersebut. Apabila seseorang itu tidak menghiraukan adanya paribasan itu maka dapat terjadi hal yang tidak diinginkan. Untuk menyindir ini dapat dikatakan fungsinya hampir sama dengan menegur, akan tetapi secara tidak langsung. Karena hal ini berkaitan dengan tradisi orang Jawa yang selalu ewuh pekewuh atau sungkan. Harapannya agar orang yang disindir ini akan mengerti arti teguran tidak langsung tersebut dan hubungan tetap baik. Tidak ada yang saling tersakiti. 

Bagi Masyarakat Jawa, paribasan mempunyai nilai yang sangat penting dalam kehidupan dan bahkan mencerminkan watak, sifat dan perilaku sehingga sangat dianjurkan untuk dipelajari. Itulah alasan Penulis mengambil tema tentang paribasan bahasa Jawa seperti judul di atas, sekaligus ikut melestarikan warisan paribasan untuk generasi penerus agar tidak hilang. 

Untuk diketahui bahwa ciri wanci lelai ginawa mati artinya, ciri ( cacat ),wanci  ( waktu ), lelai ( kebiasaan buruk ), ginawa mati ( dibawa mati ).Terjemahan bebasnya, segala sesuatu yang menjadi cacat bawaan sejak lahir akan dibawa sampai meninggal. Misalnya tahi lalat, tompel, mata sayu, gampang marah, kaku ( sifat dan karakternya ).

 Biasanya ciri yang sudah berakar seperti itu akan sulit untuk dihilangkan dan akan terbawa sampai mati. Paribasan seperti itu merupakan sindiran terhadap orang yang memiliki perangai buruk, tetapi yang bersangkutan tidak mau berusaha sedikitpun untuk mengurangi apalagi menghilangkannya. 

Misalnya sifat suka mencuri, sebenarnya yang bersangkutan pasti tahu bahwa mencuri adalah perbuatan tercela dan merugikan orang lain. Karena sifat sejak kecil memang suka mengambil barang orang lain tanpa ijin, maka sampai tua sifat seperti itu bukannya berkurang tetapi malah kian menjadi-jadi. Mencuri itu menjadi suatu kebiasaan, bahkan jika sedang kepepet ( terpaksa ) dapat dijadikan mata pencaharian. Padahal dirinya sadar bahwa mencuri itu jelas salah, tetapi hati, pikiran, dan jiwanya tidak sanggup mengekang nafsunya yang selalu mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut.

Mungkin pernah dengar istilah " Watak" ? Kata serapan dari bahasa Jawa dan menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Kata itu artinya adalah "Karakter", yaitu yang dimaksudkan untuk menggambarkan sifat, ciri khas, perilaku dan pola pikir dari seseorang atau sekelompok orang dalam satu populasi. Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa "watak" atau karakter tidak akan bisa diubah. Sebagian lagi berpendapat bahwa karakter itu bisa diubah dengan melalui literasi dan pendidikan formal maupun non-formal. 

Berbeda dengan istilah "Watuk" dari bahasa Jawa yang berarti "Batuk" dalam bahasa Indonesia. Untuk menggambarkan betapa sulitnya mengubah sifat atau karakter, masyarakat Jawa sering mengatakan, "Nek Watuk ono tamba ne, ning, nek Watak, blas ora ono" ( Jika penyakit batuk, masih ada obat penawarnya, akan tetapi, bila sifat seseorang, akan sulit diubah). Itu semua merupakan jalan hidup (way of life) pada setiap diri kita masing-masing.

Pelajaran hidup tentang filosofis "watuk dan watak" memang berbeda. Kalau watuk (batuk) itu lebih mudah sembuh, karena banyak opsi obatnya. Sedangkan "watak" obatnya adalah kesadaran diri sesorang tentang kekurangan  dan keterbatasannya sebagai manusia biasa. Sehingga mau mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain.Sebagai pelajaran dalam kehidupan sehari-hari bahwa setinggi apapun ilmu agama seseorang, jika tidak diimbangi dengan kesadaran mengakui kelebihan orang lain, maka ilmu agama itu akan menjadi belenggu jalan terang menuju surga.

Dalam kehidupan berumah tangga, “Ciri Wanci Lelai Ginawa Mati”, mumpung masih hidup dan bersama dengan pasangan, hendaklah bisa merubah segala hal buruk yang dapat menyakiti pasangan, baik secara pikiran, perkataan, maupun tingkah laku. Dalam hubungan Orang Tua dan anak (Guru dan Murid),pengaruh hal buruk dari Orang Tua / Guru,  sangat dapat membuat anak/murid bertingkah buruk, dan kadang harus menunggu Orang Tua / Guru mati dulu, baru sang anak/murid bisa terbebas dari doktrin buruk.

Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),tinggalkanlah hal yang kurang baik, maka akan membangun masyarakat yang baik di generasi yang akan datang. Di saat ini banyak orang yang lebih khawatir pada sakit watuk daripada sakit watak, kiranya tidak berlebihan jika hari ini Penulis sampaikan paribasan Jawa mengajak kita semua untuk peduli terhadap kecenderungan watak kita!.

Untuk menghilangkan perilaku buruk maka seharusnya membangun kesadaran dan ambil kendali Sebuah kebiasaan dilakukan tanpa disadari. Jadi, langkah pertama untuk menghentikan kebiasaan buruk adalah membawanya ke kesadaran. Ganti kebiasaan buruk dengan yang lebih baik Menghentikan kebiasaan buruk menjadi lebih mudah jika kita menggantinya dengan alternatif yang lebih positif.Menumpuk kebiasaan Untuk membangun kebiasaan yang lebih baik ke dalam hidup, kita dapat menggunakan strategi yang disebut "menumpuk kebiasaan", yakni menghubungkan perilaku baru dengan sesuatu yang sudah kita lakukan. 

Misalnya, kamu ingin memulai hari tanpa mendengar berita-berita negatif dan paparan media sosial, jadi kamu mulai bermeditasi sebagai gantinya. Gunakan tanda-tanda visual Kita secara tidak sadar diberi tanda oleh lingkungan untuk memperkuat perilaku kita. Jika kita ingin mengubah suatu perilaku, mulailah mengubah sinyal tersebut. Untuk menghentikan kebiasaan buruk, singkirkan godaannya. Bangun akuntabilitas Cari dukungan dari orang lain untuk memulai kehidupan barumu yang lebih baik.

Dengan penjelasan tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa makna dari paribasan ciri wanci lelai ginawa mati menegaskan bahwa tabiat, perangai, kebiasaan seseorang itu faktanya memang susah diubah. Bahkan tidak jarang berlaku sepanjang hidup hingga ajal menjemput.  Maka tidak salah jika kemudian muncul anekdot "watak kuwi beda karo watuk". 

Nyata memang begitu, katanya dieja hampir sama dan hanya beda satu huruf saja. Tapi arti dan maknanya sangat jauh berjarak.Watuk (batuk) jelas penyakit fisik (raga). Sedangkan watak, yang hakikatnya bukan penyakit, salah-salah bisa menjadi penyakit psikis (jiwa). Kebiasaan jelek yang belum bisa hilang sampai meninggal dunia

Seperti yang diingatkan oleh Tao Te Ching, "Sebuah perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah". Dengan mengambil langkah pertama hari ini untuk menghentikan kebiasaan buruk, kamu dapat memulai perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik dan memuaskan.

 


Komentar (1)

Tuliskan Komentar Anda

Komentar Terbaru

Siti Martabatul Aliyah, S.Pd
1 tahun yang lalu

Tetapi watak bisa diubah bilamana niat dan kemampuan yang kuat