Ahmad Dwi Bayu Saputro

Kunjungi Profil

Belajar Bahasa Jawa dari MTs Negeri Susukan Kabupaten Semarang

Dulu, saya pernah mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Susukan, Kabupaten Semarang. Oleh karena ada aturan baru dari pemerintah, namanya diubah menjadi Madrasah Negeri Semarang. Namun demikian, warga masyarakat masih tetap menyebutnya dengan istilah lama yakni MTs Negeri Susukan.

MTs Negeri Susukan merupakan satu-satunya sekolah negeri milik pemerintah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Oleh karena hanya satu, tak mengherankan kalau warga masyarakat Kabupaten Semarang rela berlomba-lomba untuk mendaftar di sekolah tersebut. Mereka rela mendaftar lebih awal dengan harapan agar juga dapat diterima lebih awal.

Sekolahnya cukup bagus. Prestasinya pun cukup membanggakan. Biayanya agak sedikit mahal. Namun, para wali peserta didik tidak terlalu memikirkan akan hal itu. Mahal tidak terlalu menjadi masalah yang penting berkualitas. 

Terkait dengan mengajar di MTs Negeri Susukan, saya mempunyai pengalaman yang cukup menarik. Pengalaman ini tidak mesti didapatkan di semua sekolah. Pengalaman tersebut ada kaitannya dengan budaya, yang mana sudah mulai sedikit punah.

Di sana, selama mengajar, setiap peserta didik menggunakan bahasa jawa krama inggil ketika berbicara kepada gurunya. Saya pun awal mulanya merasa heran. Setelah cukup lama mengajar, saya pun akhirnya menjadi terbiasa mendengarkan akan hal itu.

Saya dulu berpikir, bahwa yang mengajari bahasa jawa halus adalah para guru di sekolah tersebut. Setelah saya telusuri, bahasa jawa halus yang biasa digunakan oleh para peserta didik adalah berasal dari pondok pesantren salafiyah (tradisional). Para peserta didik terbiasa menggunakan bahasa jawa halus dan akhirnya merambat sampai ke sekolah.

Suasana pesantren sangat terasa di sekolah tersebut. Selain itu, guru-guru di sana sebagian juga ada yang hafal Al-Qur'an. Inilah yang juga menjadi ciri khas sekolah tersebut serta menjadi penyemangat para wali peserta didik untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang berada di dekat kantor kecamatan.

Informasi terbaru yang saya dapatkan, di dalam sekolah tersebut sekarang ada asramanya. Mirip seperti pesantren. Dari tahun ke tahun sekolah tersebut ternyata mengalami kemajuan. Peserta didik tidak hanya dididik dengan ilmu jasmaniah saja, melainkan juga ruhaniah.

Dari sekolah tersebut saya banyak belajar akan budaya dan akhlak. Peserta didik masih selalu eksis merawat budaya yang ada yakni menggunakan bahasa jawa halus meski berada di dalam sekolah. Akhlak peserta didik juga menjadi semakin bagus. Hal itu terbukti karena dalam bahasa jawa ada unggah-ungguh (etika) tatkala kita berbicara kepada orang lain.

Mengikuti Jejak MTs Negeri Susukan

Bila melihat kejadian tersebut, lembaga pendidikan formal seperti sekolah seharusnya merasa malu. Budaya menggunakan bahasa jawa halus ternyata bukan dari sekolah melainkan dari pondok pesantren, yang mana dalam catatan sejarah merupakan lembaga pendidikan yang tertua yang ada di negeri ini.

Apabila hal itu dapat dilakukan, maka peran lembaga pendidikan akan dapat terealisasikan dengan optimal. Salah satu fungsi lembaga pendidikan adalah merawat budaya lokal yang ada di daerahnya masing-masing. Termasuk di dalamnya adalah merawat dan melestarikan budaya jawa (Saya tulis bahasa jawa karena lingkungan yang saya tempati merupakan wilayah di daerah lereng Gunung Merbabu. Untuk daerah lain agar menyesuaikan bahasa daerahnya masing-masing).

Bila kita melihat lingkungan sekitar, misalnya, sudah banyak peserta didik yang tidak bisa menggunakan bahasa jawa dengan halus. Peserta didik lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, yang mana merupakan bahasa pemersatu bangsa. Umpama bisa bahasa jawa, itu pun biasanya bahasa jawa yang agak kasar.

Orang tua zaman sekarang hampir sebagian besar lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia terhadap anaknya. Mereka beranggapan bahasa Indonesia lebih mudah dipahami. Dan itu ternyata hampir merata. Baik di desa dan apalagi di kota, mayoritas orang tua secara tidak langsung mengajarkan dan lebih mengutamakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa jawa itu sendiri.

Pengaruh dari sekolah juga cukup signifikan. Misalnya saja dalam waktu seminggu, ternyata hanya ada dua jam pelajaran yang khusus mengajarkan bahasa jawa. Apakah sudah selesai? Ternyata belum.

Dalam pembelajaran bahasa jawa pun kadang para guru menerangkannya dengan bahasa Indonesia. Selain lebih mudah dalam mengajarkannya, peserta didik juga lebih mudah menangkap pelajarannya. Bayangkan, andaikan diterangkan dari awal sampai akhir menggunakan bahasa jawa tulen, mungkin banyak peserta didik yang tidak paham dengan pelajaran bahasa jawa.

Sekali lagi, apabila menginginkan bahasa jawa tidak punah, maka peran lembaga pendidikan seperti sekolah sangatlah sentral. Lembaga pendidikan "wajib" untuk merawat dan menumbuhkembangkan bahasa jawa agar di kemudian hari bangsa ini tidak menyesal. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Ahmad Dwi Bayu Saputro

Editor: Putra


Komentar (0)

Tuliskan Komentar Anda

- Belum ada komentar, jadilah yang pertama berkomentar -